RSS Feed

Cerai dan Rujuk

0

30 Maret 2012 by Lynglyng


Ketika seorang suami menceraikan istrinya, maka berlaku beberapa hukum berikut:

Pertama, Istri yang dicerai harus menjalani masa iddah.
Masa iddah untuk wanita yang masih haid adalah selama 3 kali haid. Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Para wanita yang dicerai, menunggu status dirinya (tidak menikah) selama tiga quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Kedua, selama menjalani masa iddah untuk talak satu dan dua, wanita wajib tinggal bersama suami yang mentalaknya. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Thalaq: 1)
Ketiga, sesungguhnya suami yang menceraikan istri sebelum tiga kali, selama menjalani masa iddah, status mereka masih suami istri. Karena itu, suami boleh melihat aurat istri dan sebaliknya, demikian pula, suami tetap wajib memberi nafkah istrinya yang sedang menjalani masa iddah. Allah berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu, jika mereka menginginkan kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Keempat, selama masa iddah, suami paling berhak untuk menentukan rujuk. Allah berfirman,
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ
Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu…” (QS. Al-Baqarah: 228)
Berdasarkan ayat ini, para ulama menegaskan bahwa suami lebih berhak untuk menentukan rujuk dan tidaknya pernikahan. Jika suami ingin rujuk, maka hubungan keluarga dilangsungkan kembali, meskipun istri menolaknya. Sebaliknya, ketika istri menghendaki rujuk, sementara suami tidak menginginkan maka rujuk tidak bisa dilakukan. Si istri hanya bisa mengajukan permohonan kepada suami agar bersedia untuk rujuk. Namun, ini hanya berlaku selama masa iddah.
Kelima, Setelah selesai masa iddah, status kedua pasangan ini tidak lagi suami istri. Si laki-laki bukan lagi suaminya dan si wanita bukan lagi istrinya. Mereka wajib berpisah sebagaimana hukum yang berlaku pada lelaki maupun wanita yang bukan mahram.
Setelah selesai masa iddah inilah si istri kembali menjadi wanita yang sama sekali tidak terikat dengan kewajiban rumah tangga. Dia berhak untuk menentukan keputusannya sendiri. Sehingga jika si lelaki ingin kembali membangun rumah tangga maka wajib melalui fase-fase pernikahan pada umumnya; harus meminang, ada izin wali, akad nikah baru, ada mahar baru, dan wajib dengan saksi, sebagaimana layaknya hukum pernikahan. Al-Qurthubi mengatakan bahwa hal ini dengan sepakat ulama. (Tafsir Al-Qurthubi, 3:120)

Cara Rujuk Setelah Talak Tiga
Jika talak tiga sudah jatuh maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada istrinya, sampai sang istri dinikahi oleh lelaki lain. Allah berfirman,
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Jika dia mentalak istrinya (talak tiga) maka tidak halal baginya setelah itu, sampai dia menikah dengan lelaki yang lain ….” (Q.S. Al-Baqarah:230)
Pernikahan wanita ini dengan lelaki kedua bisa menjadi syarat agar bisa rujuk kepada suami pertama, dengan syarat:
Pertama: Dalam pernikahan yang dilakukan harus terjadi hubungan badan, antara sang wanita dengan suami kedua. Berdasarkan hadis dari Aisyah, bahwa ada seorang sahabat yang bernama Rifa’ah, yang menikah dengan seorang wanita. Kemudian, dia menceraikan istrinya sampai ketiga kalinya. Wanita ini, kemudian menikah dengan lelaki lain, namun lelaki itu impoten dan kurang semangat dalam melakukan hubungan badan.
Dia pun melaporkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan harapan bisa bercerai dan bisa kembali dengan Rifa’ah. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu ingin agar bisa kembali kepada Rifa’ah? Tidak boleh! Sampai kamu merasakan madunya dan dia (suami kedua) merasakan madumu.” (H.R. Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, dan At-Turmudzi). Yang dimaksud “kamu merasakan madunya dan dia merasakan madumu” adalah melakukan hubungan badan.
Kedua: Pernikahan ini dilakukan secara alami, tanpa ada rekayasa dari mantan suami maupun suami kedua. Jika ada rekayasa maka pernikahan semacam ini disebut sebagai “nikah tahlil“. Hukum nikah tahlil adalah haram, dan pernikahannya dianggap batal.
Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa ada seseorang datang kepada beliau dan bertanya tentang seseorang yang menikahi seorang wanita. Kemudian, lelaki tersebut menceraikan istrinya sebanyak tiga kali. Lalu, saudara lelaki tersebut menikahi sang wanita, tanpa diketahui suami pertama, agar sang wanita bisa kembali kepada saudaranya yang menjadi suami pertama. Apakah setelah dicerai maka wanita ini halal bagi suami pertama? Ibnu Umar memberi jawaban, “Tidak halal. Kecuali nikah karena cinta (bukan karena niat tahlil). Dahulu, kami menganggap perbuatan semacam ini sebagai perbuatan  di zaman Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.” (H.R. Hakim dan Al-Baihaqi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Diolah dari Sumber : www.KonsultasiSyariah.com


Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

About